BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelajar yang sedang menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA, bila ditinjau dari segi usianya, sedang mengalami periode yang sangat potensial bermasalah. Periode ini sering digambarkan sebagai storm and drang period (topan dan badai). Dalam kurun ini timbul gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu “tawuran”. . “Tawuran” mungkin kata tersebut sering kita dengar dan baca di media massa. Bagi warga Jakarta, aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini beberapa televisi bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan.
Hal
yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang
individu atau kelompok. Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall &
Lindzey, Psikologi kepribadian, 1993) didefinisikan sebagai suatu cara untuk
melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh,atau
menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang
dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain.
Remaja merasakan bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi belum mampu memegang tanggung jawab seperti orang dewasa. Karena itu pada masa remaja initerdapat kegoncangan pada individu remaja terutama di dalam melepaskan nilai-nilaiyang lama dan memperoleh nilai-nilai yang baru untuk mencapai kedewasaan. Hal ini tampak dalam tingkah laku remaja itu sehari-hari, baik di rumah, di sekolah maupundi dalam masyarakat.
Remaja merasakan bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi belum mampu memegang tanggung jawab seperti orang dewasa. Karena itu pada masa remaja initerdapat kegoncangan pada individu remaja terutama di dalam melepaskan nilai-nilaiyang lama dan memperoleh nilai-nilai yang baru untuk mencapai kedewasaan. Hal ini tampak dalam tingkah laku remaja itu sehari-hari, baik di rumah, di sekolah maupundi dalam masyarakat.
1.2 Rumusan
masalah
1.
Apakah yang dimaksud tawuran antar pelajar?
2.
Apakah penyebab tawuran antar pelajar?
3.
Bagaimana cara mengatasi tawuran antar remaja?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian tawuran pelajar
2.
Untuk lebih mengetahui penyebab tawuran antar pelajar
3.
Agar pelajar tau berguna atau tidaknya tawuran
1.4
Hakikat Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
1.Pengertian
Dalam kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat diartikan sebagai perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan “pelajar” adalah seorang manusia yang belajar. Sehingga pengertian tawuran pelajar adalah perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan oleh orang yang sedang belajar
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
1. Delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
2. Delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang remaja akan cenderung membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk inilah para remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok teman sebayanya.
2. Pandangan
teori Agresi terhadap Sebab Terjadinya Tawuran
Tawuran pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku penyimpangan sosial kolektif remaja dan perilaku agresif yang marak terjadi di daerah perkotaan. Penyebab tawuran kadang tidak jelas. Disinilah uniknya, sampai sampai kelompok kerja ( pokja ) penanggulangan masalah tawuran ( 1999 ) tidak mampu memberi jawaban yang jelas mengenai apa penyebab tawuran. Mungkin dianggap telah menjadi tradisi. Kadang juga hanya sekedar untuk balas dendam atau pun unjuk kekuatan saja. Tak jarang pula melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata api ( bom molotov ) dan menimbulkan banyak korban berjatuhan. Aksi-aksi yang dilakukan para pelajar dalam tawuran semakin beringas saja. Selain itu, tawuran juga melahirkan dendam berkepanjangan bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya dan sering berlanjut pada tahun tahun berikutnya. Kiranya, ada baiknya kita memahami sebab terjadinya tawuran dengan teori Agresi, karena tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku Agresi.
1. Teori Frustrasi – Agresi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, salah satunya tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.
Perspektif frustasi-agresi dipelopori oleh 5 orang ahli yaitu Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears pada tahun 1939 (Brigham, 1991). Pada mulanya mereka menyatakan bahwa dalam setiap frstasi selalu menimbulkan perilaku agresi. Pada yahun 1941, Miller menyatakn bahwa frustasi menimbulkan sejumlah respon yang berbeda dan tidak selalu menimbulkan perilaku agresi. Perilaku agresi hanya salah satu bentuk respon yang muncul. Watson (1984), Kulik dan Brwn (dalam Worchel dan Cooper, 1986) menyatakan bahwa frustasi yang muncul dari akibat faktor luar menimbulkan perilaku agresi yang lebih besar dibandingkan dengan halangan yang diebabkan diri sendiri. Hasil penelitian Burnstein dan Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap akan mendorong perilaku agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan perilaku agresi karena orang menahan ekspresi agresi. Frustasi yang disebabkan situasi yang tidak menentu(uncertaint) akan memicu perilaku agresi semakin besar dibandingkan dengan frustasi karena situasi yang menentu.
Dollard dkk menyatakan bahwa walaupun frustasi menimbulkan perilaku agresi tetapi perilaku agresi dapat dicegah jika ada hukuman terhadap perilaku agresi. Dalam kenyataannya, tidak setiap perilaku agresi dapat diarahkan pada sumber frustasi, sehingga orang akan mengarahkan (dalam Worchel dan Cooper, 1986)
2. Teori Belajar Sosial
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya.
Model pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini sudah barang tentu membuat penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangka dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
Dalam penelitiannya Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan mengajukan suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif dengan mekansime-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan kepribadian yang agresif – kognisi agresif. .
Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering menyaksiksikan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya, semua itu dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.
Model kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak dimasa mendatang. Permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan. Permainan lain yang sama efektifnya adalah permainan dalam video game atau play station yang juga banyak menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu permainan yang mengasikkan.
3. Teori Kualitas Lingkungan
Teori kualitas lingkungan dilihat dari kualitas lingkungan sekolah
Setidaknya ada 3 faktor yang mempengaruhi tingkat kerawanan sekolah.Pertama adalah faktor fisik sekolah Seperti berdekatan dengan pusat-pusat hiburan/keramaian, kurangnya sistem pengamanan lingkungan, serta tidak tersedianya sarana yang membuat anak-anak betah di sekolah. Kedua adalah faktor psikoedukatif, yaitu ketertiban dan kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah. Ketiga adalah faktor efektivitas interaksi edukatif di sekolah.
Kedua dari manajemen rumah tangga yang tidak efektif Pola asuh yang tidak tepat (pola asuh keras menguasai maupun pola membebaskan) serta hubungan yang tidak harmonis antar anggota keluarga dapat menyebabkan anak tidak betah di rumah dan mencari pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya. Hal ini tidak jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat, seperti perkelahian.
Kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan mempengaruhi remaja dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia sekitarnya. Bagi remaja yang hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar mereka tidak akan nyaman tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari kenyataan. Pada kondisi inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat menyimpang karena lepas dari norma dan pengawasan di rumah .
Remaja yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti apa adanya oleh orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari situasi riil. Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian akan mudah terangsang untuk berperilaku menyimpang. Seperti hasil penelitian M. Brent Donnellan, Kali H. Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom Caspi dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency self-esteem yang rendah cenderung meningkat agresinya pada umur 13.
3. Penyebab Terjadinya Tawuran
Faktor internal, faktor ini merupakan faktor utama penyebab para pelajar banyak yang “ikut-ikut” tawuran diantaranya.
Ajakan teman, beberapa pelajar yang tawuran ternyata ada diantara karena ajakan teman, karena takut dibilang “cupu loe ga mau ikut tauran, punya nyali ga loe..??” atau “ini kan buat kebaikan sekolah kita, klo loe ga ikut mending ga usah jadi temen gue..”, hal ini juga pernah terjadi pada diri saya pribadi, akan tetapi saya selalu mengabaikan hal tersebut karena saya tahu hal itu tidak berguna.
Mental yang lemah, tidak mau dibilang “cupu” atau “culun” banyak diantara mereka terlibat dalam tawuran, ini mencerminkan bahwa mental para pelajar kita sangatlah lemah, hal ini tentu harus segera diperbaiki secepatnya, mulai dari diri sendiri dengan dibantu pihak-pihak terkait seperti guru dan orang tua.
Faktor eksternal, selain faktor internal faktor eksternal secara tidak langsung mendorong para pelajar pelajar untuk melakukan aksi tawuran, diantaranya.
Ekonomi, biasanya para pelaku tawuran adalah golongan pelajar menengah kebawah ini disebabkan faktor ekonomi mereka yang pas-pasan bahkan cenderung kurang membuat membuat mereka melampiaskan segala ketidakberdayaannya lewat aksi perkelahian tersebut, karena diantara mereka merasa dianggap rendah ekonominya dan akhirnya ikut tawuran agar dapat dianggap jagoan.
Perhatian, kurangnya perhatian dari orang-orang disekitar mereka seperti orang tua dan guru membuat mereka bebas dan bisa melakukan segala sesuatu sesuka hati mereka, termasuk tawuran diantaranya.
Perkelahian antar pelajar memang berdampak buruk baik untuk pelajar itu sendiri juga bagi orang lain, tetapi tawuran antar pelajar masih sangat mungkin diminimalisir dengan beberapa cara, seperti memberi perhatian lebih kepada para pelajar, jika disekolah diberikan kegiatan tambahan seperti extrakulikuler, dirumah orang tua bisa lebih dekat lagi dengan anak-anaknya dan lebih banyak bertanya jika anaknya pulang terlambat dan yang terpenting kesadaran dari setiap individu sangat diperlukan, karena jika tidak ada kesadaran diri untuk tidak ikut-ikutan dalam tawuran, maka akan mudah terpengaruh dari oleh orang lain.
4. Dampak Dari Tawuran
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
5. Cara mengatasi Terjadinya Tawuran
Untuk mengatasi masalah tawuran antar pelajar, di sini penulis akan mengambil dua teori. Yang pertama adalah dari Kartini Kartono. Dia menyebutkan bahwa untuk mengatasi tawuran antar pelajar atau kenakalan remaja pada umumnya adalah:
a. Banyak mawas diri, melihat kelemahan dan kekurangan sendiri, dan melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dan tidak menuntun
b. Memberi kesempatan kepada remaja untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat
c. Memberikan bentuk kegiatan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan remaja zaman sekarang serta kaitannya dengan pengembangan bakat dan potensi remaja.
Teori yang kedua adalah dari Dryfoos, dia menyebutkan untuk mengatasi tawuran pelajar atau kenakalan remaja pada umumnya harus diadakan program yang meliputi unsur-unsur berikut :
a. Program harus lebih luas cakupannya daripada hanya sekedar berfokus pada kenakalan.
b. Program harus memiliki komponen-komponen ganda, karena tidak ada satu pun komponen yang berdiri sendiri sebagai peluru ajaib yang dapat memerangi kenakalan.
c. Program harus sudah dimulai sejak awal masa perkembangan anak untuk mencegah masalah belajar dan berperilaku
d. Sekolah memainkan peranan penting
e. Upaya-upaya harus diarahkan pada institusional daripada pada perubahan individual, yang menjadi titik berat adalah meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anak yang kurang beruntung
f. Memberi perhatian kepada individu secara intensif dan merancang program unik bagi setiap anak merupakan faktor yang penting dalam menangani anak-anak yang berisiko tinggi untuk menjadi nakal
Manfaat yang didapatkan dari suatu program sering kali hilang saat program tersebut dihentikan, oleh karenanya perlu dikembangkan program yang sifatnya berkesinambungan.
Tawuran pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku penyimpangan sosial kolektif remaja dan perilaku agresif yang marak terjadi di daerah perkotaan. Penyebab tawuran kadang tidak jelas. Disinilah uniknya, sampai sampai kelompok kerja ( pokja ) penanggulangan masalah tawuran ( 1999 ) tidak mampu memberi jawaban yang jelas mengenai apa penyebab tawuran. Mungkin dianggap telah menjadi tradisi. Kadang juga hanya sekedar untuk balas dendam atau pun unjuk kekuatan saja. Tak jarang pula melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata api ( bom molotov ) dan menimbulkan banyak korban berjatuhan. Aksi-aksi yang dilakukan para pelajar dalam tawuran semakin beringas saja. Selain itu, tawuran juga melahirkan dendam berkepanjangan bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya dan sering berlanjut pada tahun tahun berikutnya. Kiranya, ada baiknya kita memahami sebab terjadinya tawuran dengan teori Agresi, karena tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku Agresi.
1. Teori Frustrasi – Agresi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, salah satunya tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.
Perspektif frustasi-agresi dipelopori oleh 5 orang ahli yaitu Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears pada tahun 1939 (Brigham, 1991). Pada mulanya mereka menyatakan bahwa dalam setiap frstasi selalu menimbulkan perilaku agresi. Pada yahun 1941, Miller menyatakn bahwa frustasi menimbulkan sejumlah respon yang berbeda dan tidak selalu menimbulkan perilaku agresi. Perilaku agresi hanya salah satu bentuk respon yang muncul. Watson (1984), Kulik dan Brwn (dalam Worchel dan Cooper, 1986) menyatakan bahwa frustasi yang muncul dari akibat faktor luar menimbulkan perilaku agresi yang lebih besar dibandingkan dengan halangan yang diebabkan diri sendiri. Hasil penelitian Burnstein dan Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap akan mendorong perilaku agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan perilaku agresi karena orang menahan ekspresi agresi. Frustasi yang disebabkan situasi yang tidak menentu(uncertaint) akan memicu perilaku agresi semakin besar dibandingkan dengan frustasi karena situasi yang menentu.
Dollard dkk menyatakan bahwa walaupun frustasi menimbulkan perilaku agresi tetapi perilaku agresi dapat dicegah jika ada hukuman terhadap perilaku agresi. Dalam kenyataannya, tidak setiap perilaku agresi dapat diarahkan pada sumber frustasi, sehingga orang akan mengarahkan (dalam Worchel dan Cooper, 1986)
2. Teori Belajar Sosial
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya.
Model pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini sudah barang tentu membuat penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangka dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
Dalam penelitiannya Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan mengajukan suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif dengan mekansime-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan kepribadian yang agresif – kognisi agresif. .
Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering menyaksiksikan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya, semua itu dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.
Model kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak dimasa mendatang. Permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan. Permainan lain yang sama efektifnya adalah permainan dalam video game atau play station yang juga banyak menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu permainan yang mengasikkan.
3. Teori Kualitas Lingkungan
Teori kualitas lingkungan dilihat dari kualitas lingkungan sekolah
Setidaknya ada 3 faktor yang mempengaruhi tingkat kerawanan sekolah.Pertama adalah faktor fisik sekolah Seperti berdekatan dengan pusat-pusat hiburan/keramaian, kurangnya sistem pengamanan lingkungan, serta tidak tersedianya sarana yang membuat anak-anak betah di sekolah. Kedua adalah faktor psikoedukatif, yaitu ketertiban dan kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah. Ketiga adalah faktor efektivitas interaksi edukatif di sekolah.
Kedua dari manajemen rumah tangga yang tidak efektif Pola asuh yang tidak tepat (pola asuh keras menguasai maupun pola membebaskan) serta hubungan yang tidak harmonis antar anggota keluarga dapat menyebabkan anak tidak betah di rumah dan mencari pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya. Hal ini tidak jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat, seperti perkelahian.
Kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan mempengaruhi remaja dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia sekitarnya. Bagi remaja yang hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar mereka tidak akan nyaman tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari kenyataan. Pada kondisi inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat menyimpang karena lepas dari norma dan pengawasan di rumah .
Remaja yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti apa adanya oleh orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari situasi riil. Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian akan mudah terangsang untuk berperilaku menyimpang. Seperti hasil penelitian M. Brent Donnellan, Kali H. Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom Caspi dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency self-esteem yang rendah cenderung meningkat agresinya pada umur 13.
3. Penyebab Terjadinya Tawuran
Faktor internal, faktor ini merupakan faktor utama penyebab para pelajar banyak yang “ikut-ikut” tawuran diantaranya.
Ajakan teman, beberapa pelajar yang tawuran ternyata ada diantara karena ajakan teman, karena takut dibilang “cupu loe ga mau ikut tauran, punya nyali ga loe..??” atau “ini kan buat kebaikan sekolah kita, klo loe ga ikut mending ga usah jadi temen gue..”, hal ini juga pernah terjadi pada diri saya pribadi, akan tetapi saya selalu mengabaikan hal tersebut karena saya tahu hal itu tidak berguna.
Mental yang lemah, tidak mau dibilang “cupu” atau “culun” banyak diantara mereka terlibat dalam tawuran, ini mencerminkan bahwa mental para pelajar kita sangatlah lemah, hal ini tentu harus segera diperbaiki secepatnya, mulai dari diri sendiri dengan dibantu pihak-pihak terkait seperti guru dan orang tua.
Faktor eksternal, selain faktor internal faktor eksternal secara tidak langsung mendorong para pelajar pelajar untuk melakukan aksi tawuran, diantaranya.
Ekonomi, biasanya para pelaku tawuran adalah golongan pelajar menengah kebawah ini disebabkan faktor ekonomi mereka yang pas-pasan bahkan cenderung kurang membuat membuat mereka melampiaskan segala ketidakberdayaannya lewat aksi perkelahian tersebut, karena diantara mereka merasa dianggap rendah ekonominya dan akhirnya ikut tawuran agar dapat dianggap jagoan.
Perhatian, kurangnya perhatian dari orang-orang disekitar mereka seperti orang tua dan guru membuat mereka bebas dan bisa melakukan segala sesuatu sesuka hati mereka, termasuk tawuran diantaranya.
Perkelahian antar pelajar memang berdampak buruk baik untuk pelajar itu sendiri juga bagi orang lain, tetapi tawuran antar pelajar masih sangat mungkin diminimalisir dengan beberapa cara, seperti memberi perhatian lebih kepada para pelajar, jika disekolah diberikan kegiatan tambahan seperti extrakulikuler, dirumah orang tua bisa lebih dekat lagi dengan anak-anaknya dan lebih banyak bertanya jika anaknya pulang terlambat dan yang terpenting kesadaran dari setiap individu sangat diperlukan, karena jika tidak ada kesadaran diri untuk tidak ikut-ikutan dalam tawuran, maka akan mudah terpengaruh dari oleh orang lain.
4. Dampak Dari Tawuran
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
5. Cara mengatasi Terjadinya Tawuran
Untuk mengatasi masalah tawuran antar pelajar, di sini penulis akan mengambil dua teori. Yang pertama adalah dari Kartini Kartono. Dia menyebutkan bahwa untuk mengatasi tawuran antar pelajar atau kenakalan remaja pada umumnya adalah:
a. Banyak mawas diri, melihat kelemahan dan kekurangan sendiri, dan melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dan tidak menuntun
b. Memberi kesempatan kepada remaja untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat
c. Memberikan bentuk kegiatan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan remaja zaman sekarang serta kaitannya dengan pengembangan bakat dan potensi remaja.
Teori yang kedua adalah dari Dryfoos, dia menyebutkan untuk mengatasi tawuran pelajar atau kenakalan remaja pada umumnya harus diadakan program yang meliputi unsur-unsur berikut :
a. Program harus lebih luas cakupannya daripada hanya sekedar berfokus pada kenakalan.
b. Program harus memiliki komponen-komponen ganda, karena tidak ada satu pun komponen yang berdiri sendiri sebagai peluru ajaib yang dapat memerangi kenakalan.
c. Program harus sudah dimulai sejak awal masa perkembangan anak untuk mencegah masalah belajar dan berperilaku
d. Sekolah memainkan peranan penting
e. Upaya-upaya harus diarahkan pada institusional daripada pada perubahan individual, yang menjadi titik berat adalah meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anak yang kurang beruntung
f. Memberi perhatian kepada individu secara intensif dan merancang program unik bagi setiap anak merupakan faktor yang penting dalam menangani anak-anak yang berisiko tinggi untuk menjadi nakal
Manfaat yang didapatkan dari suatu program sering kali hilang saat program tersebut dihentikan, oleh karenanya perlu dikembangkan program yang sifatnya berkesinambungan.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
KESIMPULAN
Pada setiap tawuran pasti ada seorang
profokator yangmenghasut para pengikutnya untuk membantunya menyerangsekelompok
pelajar dari SMA lain. para profokator tawuran ialahseseorang siswa yang penuh
dengan dendam. Ada beberapa julukan bagi para pelaku tawuran seperti
pentolan dan gembel.Pentolan adalah seorang pemimpin, siswa yang berani
melukaitubuh musuhnya saat sedang tawuran
SARAN
Sebagai generasi penerus bangsa
sebaiknya para pelajarmengisi waktunya dengan kegiatan – kegiatan yang
bermanfaat jangan hanya berkelahi / tawuran antar pelajar, sebab
NegaraIndonesia ini kedepan akan dipimpin oleh generasi pelajar yangsekarang.
Reference
http://www.masbow.com/2008/05/tawuran-pelajar-ditinjau-dengan.html
http://iftitahnj.blogspot.com/2011/06/makalah-tawuran-pelajar.html
http://bungaabungee.wordpress.com/2012/03/11/faktor-penyebab-tawuran-antar-pelajar/
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/06/tawuran-antar-pelajar.html
http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/258-tawuran-pelajar-memprihatinkan-dunia-pendidikan.html
Prabowo, H.
1998. “Seri Diktat Kuliah : Pengantar Psikologi Lingkungan”. Depok
:FakultasPsikologi,UniversitasGunadarma.
Sarwono, S.W. 2002. “Psikologi Sosial (Individu dan Teori- teori Psikologi Sosial)”. Jakarta : Balai Pustaka.
:FakultasPsikologi,UniversitasGunadarma.
Sarwono, S.W. 2002. “Psikologi Sosial (Individu dan Teori- teori Psikologi Sosial)”. Jakarta : Balai Pustaka.
Baron, R.A., dan
Byrne D.B, 1994 Social Psychology. Under Standing Human Interaction. Boston:
Allyn & Bacon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar