BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Ada dua masalah
dalam bidang kedokteran atau
kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari
waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang
kedokteran yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah
dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah
ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul
berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik,
atau dicapainya kesepakatan yangdapat diteroma oleh semua pihak. Di satu pihak
tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan
memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima,
bertentangan dengan hukum, moral dan agama.
Mengenai
masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya sudah
ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan,
sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian
tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang
hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga
orang sakit yang tidak tega melihat
pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk
tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat
kematian. Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan
seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati secara baik.
Masalah makin
sering dibicarakan dan menarik banyak
perhatian karena semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan
masyarakat terutama setelah ditemukannya tindakan didalam dunia pengobatan
dengan mempergunakan tegnologi canggih dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat
dan mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan
kesehatanterurtama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan
intensif yang pada masa lalu sudah merupakn kasus yang sudah tidak dapat
dibantu lagi.
1.2.RUMUSAN MASALAH
1.2.1. Apa pengertian dari
Euthanasia?
1.2.2. Apa saja jenis-jenis
Euthanasia?
1.2.3. Bagaimana tinjauan
Etis terhadap Euthanasia?
1.2.4. Bagaimana tinjauan
Yuridis terhadap Euthanasia?
1.3.TUJUAN
1.3.1. Untuk mengetahui
pengertian dari Euthanasia
1.3.2. Untuk mengetahui
jenis-jenis Euthanasia
1.3.3. Untuk mengetahui tinjauan
etis tehadap euthanasia
1.3.4. Untuk mengetahui
tinjauan yuridis terhadap euthanasia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Euthanasia
Istilah eutanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya yang berjudul sumpah Hippokrates, naskah
ini ditulis pada tahun 400-300 SM. Dalam supahnya tersebut Hippokrates
menyatakan; "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang
mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dari
dokumen tertua tentang eutanasia di atas, dapat kita lihat bahwa, justru
anggapan yang dimunculkan oleh Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek
eutanasia. Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan
pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang
anti eutanasia mulai diberlakukan di Negara bagian New York, yang pada beberapa
tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa Negara bagian. Setelah masa
Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya
eutanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya
terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang
memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian
perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun
Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di
Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan
daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan
dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat
yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk
"pembunuhan berdasarkan belas kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu
tindakan kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap
anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat
tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna.
Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang
kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo
/ lansia.
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan
kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan
terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang
dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.
(Wikipedia). Sebagaimana kita ketahui, nazi yang saat itu dipimpin oleh Adolf
Hitler, menganggap bahwa orang cacat merupakan hambatan terhadap kemajuan suatu
bangsa, sehingga secara besar-besaran nazi melakukan eutanasia secara paksa
kepada semua orang cacat di Berlin, Jerman. Terdapat beberapa catatan yang
cukup menarik terkait dengan praktek eutanasia di beberapa tepat di jaman
dahulu kala, berikut sedikit uraiannya:
a. Di India pernah dipraktekkan suatu
kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
b. Di Sardinia orang tua dipukul hingga
mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
c.
Uruguay
mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku
sejak tahun 1933.
d. Di beberapa Negara Eropa, praktek
eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902
memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
e. Di Amerika Serikat, khususnya di
semua Negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau
membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
f.
Satu-satunya
Negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah
Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta
tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang
menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan
eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat
digolongkan eutanasia pasif.
2.2. PENGERTIAN EUTHANASIA
Istilah
euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos.
Kata eu berarti baik, tanpa penderitaan
dan thanatos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat
diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat
tanpa derita.
Secara
etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari
itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan
kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang
menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah
bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan
hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari
segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan
menghendakinya.
Akan tetapi
dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan perbuatan
yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini,
euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena
kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar
dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar
pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan dari
euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi dari kematian
itu sendiri telah menjadi kabur.
Beberapa
pengertian tentang terminologi euthanasia:
a. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum
dan psikologi, euthanasia diartikan:
·
Dengan sengaja
melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.
·
Dengan sengaja tidak
melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasien
·
Dilakukan
khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa
permintaan pasien.
b. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam
tiga arti:
·
Berpindahnya ke
alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan
nama Allah dibibir.
·
Ketika hidup
berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat penenang.
·
Mengakhiri
penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa
kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah
sebagai berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup
pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
2.3. JENIS-JENIS
EUTHANASIA
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya,
dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis
besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter
untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya
dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara
pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung
mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan
zat yang segera mematikan
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang
menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri
hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri
hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia
pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien
diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
3. Euthanasia volunter
Euthanasia
jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas
permintaan sendiri.
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien
dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya.
Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian
bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai
macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans
magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan
macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
1.
Euthanasia
murni, yaitu usaha untuk memperingan
kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua
usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".
2.
Euthanasia
tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan
kematian dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di
sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan
analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek kehidupan
walaupun hal itu tidak disengaja
3.
Euthanasia
sukarela, yaitu mempercepat kematian atas
persetujuan atau permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan
dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
4.
Euthanasia
nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian
sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga
(misalnya keluarga), atau atas keputusan pemerintah.
2.4. TINJAUAN ETIS EUTHANASIA
A. Tinjauan Kedokteran
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis
adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah
Hipokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang
mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang
memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di
dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri
yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban
dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa
menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup
seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan
sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang
otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara
keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian
tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang
mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan
setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula
dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik
yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia
adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri
hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang
mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa
euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan
euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah
menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan
radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan
perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh
seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan
di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila
suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi
berkompeten melakukan perawatan medis.
B. Tinjauan Filosofis-Etis
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan
otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri
secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati
(hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai
berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus
mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia
mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi
pengakhiran penderitaan yang tidak berguna.
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah
satu argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita
mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa
dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang
dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu
kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan
manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian
kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena
mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.
Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada
secara intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan
berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan
orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing
orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu
masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak
pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan
tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi
yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die.
Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar
penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh
penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar
mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”, tanpa
penderitaan yang tidak perlu.
2.5. TINJAUAN YURIDIS EUTHANASIA
Di Indonesia
dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam
bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi
bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan
nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya
sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat
dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau
dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena
kurang hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat
beberapa alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri
hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal
dibawah ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:
Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang
lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas
tahun.
Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih
dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan
(moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau
penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP:
Barang siapa
karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang
mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia,
yaitu:
Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain
unutk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya
upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa
manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya
pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap
bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu
setiap perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut
mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai
suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras,
warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia
Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah
euthanasia ini.
2.6 Klasifikasi
A. Dilihat
dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
·
Voluntary
euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit.
Misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera, dimana keadaan diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak menunjang.
Misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera, dimana keadaan diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak menunjang.
·
Involuntary
euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang
lain seperti
pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
·
Assisted Suicide, tindakan ini
bersifat individual yang pada keadaan tertentu dan alasan tertentu
menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
·
Tindakan yang langsung menginduksi
kematian dengan alasan meringankan penderitaan tanpa
izin individu bersangkutan dan pihak yang punya hak untuk mewakili. Hal
ini sebenarnya merupakan pembunuhan, tetapi agak berbeda pengertiannya
karena tindakan ini dilakukan atas dasar belas kasihan.
B. Menurut Dr.
Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran
Rakyat mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan
menjadi:
·
Euthanasia
aktif, yaitu tindakan secara sengaja
yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan
zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.
·
Euthanasia
pasif, yaitu dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat,
dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga
pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut
peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.
·
Autoeuthanasia,
yaitu seorang pasien
menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia
mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas sendiri (APS).
C. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaanny
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya,
eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori:
-
Eutanasia
agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja
yang dilakukan oleh dokter
atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang
pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan
dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan.
Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
-
Eutanasia
non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia)
digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas
dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa
penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan
secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis
tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia
pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
-
Eutanasia
pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan
seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya
adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami
kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit
seperti morfin
yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif
seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
·
Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan
yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini,
euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena
kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan.
·
Euthanasia dapat dikelompkkan menjadi
euthanasia aktif, euthanasia pasif, euthanasia volunter, dan uethanasia
involunter.
·
Menurut kode
etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit
meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi
·
Di Indonesia dilihat dari
perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk
undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Maka satu-satunya
yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
3.2.SARAN
Dalam makalah ini penulis memberikan
saran kepada kepeda para pemberi layanan kesehatan khususnya para dokter untuk
tidak melakukan euthanasia, karena jika dilihat dari segi hak asasi manusia
steiap orang berhak untuk hidup. Dan jika dilihat dari segi agama, yang
mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah Jusuf: Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005
http://Hukum-Kesehatan.web.id/AspekHukumdalamPelaksanaanEuthanasiadi Indonesia«HukumKesehatan.htm
http:// Johnkoplo’sWeblog.com/Euthanasia Tinjauan dari Segi Medis, Etis, dan
Moral
http://satriabara.blogspot.com/2012/06/makalah-euthanasia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar